CYBERSULUT.NET – Rompi oranye melekat di badan calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus, Senin 2 Juli 2018 malam. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan pria 49 tahun usai memeriksanya sebagai tersangka.
Ahmad Hidayat Mus ditetapkan sebagai tersangka bersama Ketua DPRD Kepulauan Sula Zainal Mus yang merupakan adik kandungnya. Mereka diduga merugikan negara sebesar Rp 3,4 miliar atas dugaan pengadaan fiktif dalam pembebasan lahan Bandara Bobong yang menggunakan APBD Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara tahun anggaran 2009.
Padahal, Ahmad Hidayat Mus merupakan Gubernur Maluku Utara terpilih versi quick count Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama pasangannya, Rivai Umar.
Dari 99,11 persen suara yang masuk, pasangan Ahmad Hidayat Mus-Rivai Umar unggul 31,82 persen dibanding pesaingnya Abdul Gani Kasuba-M Yasin yang memperoleh 30,40 persen suara.
Dikutip dari Liputan6.com, Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan pihaknya tidak bisa membatalkan terpilihnya Ahmad sebagai Gubernur Maluku Utara jika memang menang berdasarkan real count. Ahmad pun tetap akan dilantik menjadi Gubernur Maluku Utara. Terlebih, belum ada putusan tetap terkait perkara yang menjeratnya.
“Menurut UU Pilkada, paslon itu bisa digugurkan jika sudah dijatuhi vonis berkekuatan hukum tetap. Nah, status tersangka itu masih jauh dari vonis. Karena itu belum bisa digugurkan atau dibatalkan,” kata Pramono, Jakarta, Selasa (3/7/2018).
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menjelaskan, Ahmad baru bisa dinonaktifkan ketika berstatus sebagai terdakwa. Artinya, saat itu terjadi, perkara korupsi yang menjeratnya sudah bergulir di pengadilan.
“Diberhentikan sementara pada saat itu juga ketika sudah terdakwa. Ini sesuai Pasal 163 ayat 7, UU 10 tahun 2016 tentang Pilkada,” ujar Bahtiar.
Ayat 7 Pasal 163 UU Pilkada mengatur tentang, “Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.”
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Fajri Nursyamsi mengatakan, jika menilik payung hukum tersebut, proses di KPK lah yang menjadi kunci.
“Yang menjadi kunci adalah proses di KPK. Di mana KPK harus segera menuntaskan proses penyidikan untuk segera melimpahkan berkas ke pengadilan, agar kemudian status kepala daerah menjadi terdakwa dan bisa segera diberhentikan sementara,” ucap Fajri.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun mengimbau KPK segera membawa calon kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi ke persidangan.
Dalam versi hitung cepat Pilkada 2018, beberapa calon kepada daerah yang ditetapkan KPK sebagai tersangka berhasil menang, termasuk Cagub Maluku Utara.
“Tersangka KPK kan sudah cukup alat bukti, tinggal proses persidangan dan saksi-saksi, apapun asas praduga tak bersalah tetap dikedepankan, tapi saya kira kalau bisa dipercepat proses persidangannya,” ucap Tjahjo di Jakarta, Senin 2 Juli 2018.
Ia menegaskan, imbauan ini tidak bermaksud mengintervensi proses hukum di KPK. Namun, dengan percepatan persidangan, Tjahjo berharap sudah ada kepastian status para calon kepala daerah yang menjadi tersangka.
“Kan enggak enak harus melantik di LP. tapi kan ya itu UU, dia belum diputuskan bersalah kan masih berhak (dilantik) walau dia ditahan. Itu saja,” ungkap Tjahjo.
“Tapi sekali lagi saya hanya mengimbau mudah-mudahan KPK atau Kejaksaan bisa mempercepat proses persidangannya sehingga saat pelantikan nanti bisa baik,” lanjut dia.
Sumber : Liputan6.com