CYBERSULUT NET – Persidangan kasus dugaan pemalsuan surat persetujuan bersama yang menjerat Lelaki inisial BS alias Buang, dipidana oleh perempuan inisial MNS alias Nona, yang notabene adalah adik kandungnya, kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Rabu (29/01/2020).
Perkara pidana nomor 348/Pid.B/2019/PN.MND, telah memasuki agenda pledoi atau nota pembelaan, melalui Penasehat Hukum (PH) terdakwa BS, Advokat Andrew A Kaloh dan Advokat Nicky EB Lumingas.
Usai persidangan, terdakwa yang didampingi PH mengungkapkan perkara ini terkesan sangat dipaksakan.
“Bukanlah terdakwa yang melakukan pemalsuan surat persetujuan bersama,” tegas PH Nicky, sembari menegaskan kalau tanda tipp x yang tertera dalam surat tersebut bukan dilakukan kliennya.
Menurut, Penasehat Hukum dalam Pembelaan ini, mempertanyakan jika memang terdakwa yang men-tipp x surat persetujuan bersama tanggal 19 Agustus 2000, mengapa dalam SHM No 250 Tahun 2001 telah dimasukkan bagian tanah yang di tipp x tersebut pada Sertifikat Hak Milik dari saksi Modesta Sanger (saksi korban).
“Di sini adalah jelas jika keberatan saksi Modesta kepada terdakwa adalah bukan untuk mencari keadilan atau kebenaran materiil, melainkan hanya untuk meligitimasi Sertifikat Hak Milik No 250 Tahun 2001 yang dibuat dengan dasar yang tidak benar karena telah memasukkan bagian tanah milik terdakwa sesuai surat persetujuan bersama,” tutur PH terdakwa mengulang kembali nota pledoi yang telah dibacakan di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Halidja Wally.
Tak hanya itu, masih menurut PH, fakta-fakta persidangan selama proses pemeriksaan saksi berlangsung.
Dimana, tak ada satu pun dari saksi yang menerangkan bahwa mereka melihat dan mengetahui kalau terdakwa yang telah men-tipp x surat persetujuan bersama, sebagaimana disangkakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Kalau unsur ‘barang siapa’, sebagaimana termuat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHPidana yang dituntutkan JPU terhadap terdakwa, tidak dapat terpenuhi secara sah dan meyakinkan. Karena
selama fakta persidangan berlangsung, JPU tak dapat membuktikan siapa yang men-tipp x Surat Persetujuan Bersama itu,” tambah Nicky.
Selain itu, PH terdakwa merasa keberatan atas sikap JPU dalam mengajukan tuntutan. Sebab, tuntutan pidana 1 tahun penjara yang dilayangkan JPU dinilai tak bersandar pada fakta-fakta persidangan yang tersaji.
Menariknya, dalam tuntutan JPU, terkait surat persetujuan bersama yang dimaksud, agar dirampas dan dimusnahkan, semakin mempertegas jika korban hanya ingin meligitimasi Sertifikat Hak Milik No 250 Tahun 2001.
“Surat persetujuan bersama dibuat dihadapan lurah, untuk sebagai pegangan klien. Maka melalui pledoi kami meminta agar klien kami dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan JPU. Dan meminta agar surat persetujuan bersama tanggal 19 Agustus 2000 dikembalikan kepada klien kami,” tandas Nicky.
*/Serly Wilhelmina