CYBERSULUT.NET – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) menyebutkan, masyarakat adat selama ini kurang mendapatkan perlindungan hukum khususnya dalam penguasaan tanah dan dalam menjalankan peribadatannya.
“Soal penguasaan tanah, mereka mudah digusur oleh investor asing meskipun sudah ratusan tahun mendiami tempat itu,” kata Ketua APHA Dr Laksanto Utomo saat memberikan paparan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi DPR di Senayan, Jakarta, Senin (15/1/2018), sebagaimana dikutip dari Antaranews.com.
Menurutnya, otoritas berwenang mengatakan tak ada lagi masyarakat adat, tanah yang tidak besertifikat adalah milik negara sehingga mereka mudah digusur dan dipinggirkan.
“Jika RUU Masyarakat Adat tidak segera diperbaiki, dipastikan akan merugikan masyarakat adat di masa depan, dan tanah mereka bergeser ke investor asing,” katanya.
Oleh karenanya, ia menilai perlu ada koreksi mendasar terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Adat karena di dalamnya masih banyak kerancuan yang dapat merugikan kaum adat.
Kerancuan itu antara lain tercermin dari nomenklatur RUU Masyarakat Adat yang memberikan pengertian masyarakat adat secara sempit.
“Pengertiannya harus diperluas meliputi masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional termasuk di dalamnya perlu mengakomodasi aliran kepercayaan yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017,” kata Laksanto.
Laksanto yang didampingi Dr Kunthi Tridewiyanti dari FH Universitas Pancasila Jakarta, Prof Dominikus Rato dari Universitas Negeri Jember, Prof Dr MG Endang Sumiarni dari Fakultas Hukum Universitas Admadjaya Yogyakarta, Dr Ning Adhiyasih dari FH Trisakti, dan Robert K Hammar dari STIH Manokwari Papua kembali menegaskan, dengan perluasan pengertian dalam RUU akan menguntungkan masyarakat adat.
“Jangan sampai kita menjadi tukang cuci di negeri sendiri karena jutaan tanah yang saat ini dikuasai masyarakat adat kian menyusut,” kataya.
Prof Rato menambahkan, Peradilan Adat perlu diciptakan di lingkungan masyarakat adat yang berfungsi memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa menurut hukum adat dengan memerhatikan HAM, kecuali pelanggaran yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan ancaman penjara paling sedikit lima tahun.
“`Negara mawa tata dan desa mawa cara`, artinya negara harus mempunyai hukum secara nyata, sementara desa juga mempunyai cara budaya yang beragam. Keduanya dapat bersinergi,” katanya.
Sumber : kompas.com, Antaranews.com