CYBERSULUT.NET – Iven Tomohon Internasional Flower Festival (TIFF) 2017 yang digelar, Senin (7/8/2017) mendapat respon positif dari masyarakat lokal, nasional hingga internasional. Sayangnya, iven tahunan kota Tomohon tersebut sedikit tercoreng dengan diboncengi kegiatan pemecahan rekor MURI “bakar nasi jaha terpanjang”
Terpantau CYBERSULUT di media sosial “Suara Rakyat Tomohon“, warganet mengungkapkan kekecewaan dengan kegiatan rekor MURI “Bakar Nasi Jaha Terpanjang” tersebut.
Seperti yang ditulis Piere Patris Lolong dalam komentarnya, yang menganggap tidak menghargai dan mensyukuri hasil panen.
“Ini kah arti dari mengucap syukur?, ini malah tidak menghargai hasil panen. Makanan adalah sumber kehidupan, layaknya kita menghargai makanan itu. Ini makanan ini akan di makan. Apakah ini perlakuan yg baik untuk makanan? Orang tua dulu sangat marah ketika anak2 tidak menghabiskan makanan. Ini malah di letakan di tempat yg tidak layak. Dari segi mana pun ini tidak di benarkan, kususnya dari segi medis. Tolong di jelaskan?” tulis Piere Patris Lolong.
Twiggy Rumajar dalam statusnya di grup tersebut, juga membandingkan kelayakan pembakaran nasi jaha di kota Tomohon dengan daerah lain.
Gambar atas; nasi jaha tomohon.
Gambar bawah; nasi jaha di daerah lain.
Artikan jo sandiri mana yg pantas dan tidak pantas,,,
Analisa jo, pembohongan publik atau kebenaran anggaran yg cocok di gambar foto ini….
Adapun Ariepetrus Kawatak yang mengungkapkan pemikirannya terkait kegiatan “Bakar Nasi Jaha Terpanjang” tersebut.
APAKAH MURI TIDAK PUNYA ATURAN KEWAJARAN ??
Sebagai warga Tomohon, tentu saja kita bangga, apabila di kota tercinta ini diadakan event event bergengsi, seperti pemecahan rekor MURI, dsb.
Ketika mengetahui bahwa dalam rangka event tetap TIFF, kemudian dirangkaikan dengan kegiatan pemecahan Rekor MURI, yaitu bakar nasi jaha terpanjang, …tentu saja bangga dan mendukung penuh ide ini.
Terbayang di benak kami, ada di sepanjang jalan, terjadi pembakaran nasi jaha oleh keluarga keluarga dengan senyuman keramahan kepada siapa saja. Dan turis turis atau pelancong dari luar daerah, peninjau dari kabupaten kota lainnya, mendapat prioritas baik dalam merekam moment maupun mencicipi makanan nasi jaha.
Kami membayangkan, MURI menitikberatkan penilaian pada momentum ‘ jamuan secara familiar disepanjang jalan’
Kami juga memperkirakan, masyarakat kecil di pinggiran kota , yang hari pengucapan kemarin tidak bisa bakar nasi jaha karena tidak mampu beli ketan, telah dikoordinir, dan diajak untuk prioritas membawa pulang sebagian nasi jaha, setelah selesai pemecahan rekor MURI.
Namun, akhirnya kekuatiran terpendam muncul juga.
Bambu bambu nasi jaha sudah matang , berhempas dijalan raya dengan hanya beralas daun pisang tidak merata.
Makanan yang menjadi idola saat Pengucapan Syukur pada Tuhan, makanan yang menarik minat ribuan wisatawan dan pencinta kuliner unik khas Minahasa, ternyata terbaring kaku di jalanan.
Dimana imajinasi yang hidup dari pentas ini ?
Dimana pemenuhan harapan pariwisata yang ingin melihat bambu hijau berkobar mendidih ditengah nyala api seperti terlihat di foto foto yang membangkit pesona dan rasa ingin mengunjungi minahasa dan tomohon ?
Dimana sensasi pengunjung mencicipi potongan pertama nasi jaha, yang disajikan warga dengan senyum sumringah ?
Ketika nasi jaha terbaring kaku dijalanan dalam terik matahari atau sepuhan rintik hujan.
Selera menikmati secara sensasional, telah pudar.
Bukan cuma itu, strategi pariwisata untuk menarik wisnu dan wisman, menjadi kerugian pesan. Good news menjadi bad news.
Penyebabnya, cuma sebuah kesalahan kecil, kurang konsultasi dan koordinasi.
Tetapi, sesungguhnya ini juga tidak terlepas dari Kelemahan Pengelola MURI sendiri.
Seharusnya MURI juga memiliki kriteria kriteria yang rasional alias wajar.
Misalnya kalau berkaitan dengan makanan, sepantasnya ada konsultasi atau asistensi kelayakan. Misalnya, makanan berbahan apa, bagaimana kebijakan pangan yang ada, apa dampak sosialnya, dsb.
MURI bukan hanya pencatat, pengakuan, dan pemberi sertifikat.
Tapi, sudahlah semua sudah terjadi. Yang kita tahu, pemda sudah bekerja keras membangun kota ini dan masyarakatnya.
Dan kita semua cukup prihatin atas apa yang ada.
Harga ketan mahal. Banyak rakyat kecil yang malu kemarin, karena tidak sempat memberi ole ole nasi jaha atau dodol bagi kerabatnya yang datang.
Kini, ketan itu berbaring dijalan, tidak akan optimal membangkitkan selera makan.
Editor : Beriel.L
Sumber : Facebook