CYBERSULUT.NET – Koalisi Save Sangihe Island gabungan YLBHI, LBH Manado, Jatam Nasional, SSI dan Trend Asia menuding Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II B Tahuna telah melanggar hak Robison Saul, nelayan Sangihe penolak tambang emas ilegal PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang dikriminalisasi dan ditahan untuk mendapat bantuan hukum setelah diduga mendapat perlakuan tidak adil dari petugas lapas.
Pasalnya, dalam pers rilis yang diterima CYBERSULUT, perlakuan tidak adil dari Lapas tersebut terjadi pada, Selasa, (18/10/2022) sekira pukul 11.00 WITA, dimana petugas Lapas Kelas IIB Tahuna menghalangi tim kuasa hukum Robison Saul untuk bertemu. Padahal kedatangan tim kuasa hukum ke Lapas IIB bertujuan untuk persiapan kepentingan pembelaan atas perkara yang sedang dijalani.
Para petugas berdalih bahwa tim kuasa hukum harus mendapat izin tertulis sesuai instruksi pengadilan untuk dapat bertemu dengan Robison. Tim kuasa hukum juga mencoba untuk meminta bertemu Kepala Lapas Kelas IIB Tahuna, Suharno, tapi petugas Lapas juga tidak mengizinkan. Padahal ketika kuasa hukum mengonfirmasi langsung kepada ketua majelis hakim yang menangani perkara Robison yang sekaligus juga adalah Ketua Pengadilan Negeri Tahuna, Paul Belmando Pane, menyatakan bahwa tidak ada kebijakan dari pengadilan mengenai keharusan untuk memperoleh izin terlebih dahulu dari pengadilan untuk bertemu tahanan yang berada di Lapas Kelas IIB Tahuna.
Atas perlakuan yang dilakukan oleh lapas kelas II B Tahuna tersebut, Koalisi Save Sangihe Island menilai jelas melanggar pasal 69 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan “Penasihat Hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkatan pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
“Kedatangan Tim Kuasa hukum untuk bertemu Robison pada Selasa 18 Oktober 2022 mendapat penghalangan oleh petugas lapas dengan alasan yang tidak berdasar yaitu keharusan memperoleh izin tertulis terlebih dahulu dari pengadilan. Ini merupakan bentuk pelanggaran atas hak bantuan hukum dan perilaku yang tidak menghormati profesi advokat,” kata Frank Kahiking dari LBH Manado.
Tidak hanya permasalahan tersebut, petugas Lapas Kelas II B Tahuna tak hanya melarang tim kuasa hukum bertemu dengan Robison, tapi juga melarang Widya Waty yang merupakan istri Robison untuk mengunjungi suaminya.
“Saat mendatangi lapas pada 6 Oktober 2022 sekitar pukul 10.00 WITA, petugas lapas bilang, Robison masih menjalani masa karantina selama 2 minggu. Enam hari kemudian, Rabu 12 Oktober 2022, Widya Waty menelepon Kepala Keamanan Lapas Hendro Martoyo pukul 16.45 agar dipertemukan dengan suaminya. Setelah mendengar informasi dari pengacara bahwa Robison dianiaya dan disiksa dalam sel tahanan lapas. Hendro mengonfirmasi bahwa Widya Waty dipersilahkan untuk datang dengan membawa KTP dan Kartu Vaksin ke-3. Ia pun dipersilakan datang dengan syarat tidak boleh membawa wartawan,” ungkap Kahiking.
Sebelumnya, pada 12 Oktober 2022, kuasa hukum dapat bertemu dengan Robison dan dalam pertemuan itu Robison Saul mengaku disiksa dan dianiaya oleh Petugas Lapas Kelas II B Tahuna berinisial AJ. Kala itu, Robison disiksa dalam kondisi tangan diborgol lalu dipukuli hingga terbentur ke kloset. Pihak keluarga pun tidak diperbolehkan bertemu dengan Robison dengan alasan masih dalam Masa Pengenalan Lingkungan (Mapenaling) dan Robison harus perlu di karantina dahulu.
Keesokan harinya, Kamis 13 Oktober 2022, Widya Waty tiba di lapas Tahuna sekitar pukul 10.00 WITA dan melapor ke petugas piket untuk bertemu dengan Robison. Namun, Widya Waty tidak diizinkan masuk oleh petugas lapas dengan alasan harus memiliki izin tertulis dari pengadilan yang menahan. Senin 17 Oktober 2022, Widya Waty datang kembali ke Lapas Tahuna untuk menjenguk Robison sekitar pukul 11.00 WITA. Namun, ia tetap tidak diizinkan bertemu suaminya dengan alasan pelarangan yang sama dengan sebelumnya.
“Saya tidak bisa bertemu dengan suami saya sejak Ia dipindah ke sel tahanan Lapas II B Tahuna. Saya dilarang untuk bertemu dan saya menaati peraturan, sehingga saya pulang ke rumah. Kamis 14 Oktober saya melihat ada unggahan di Facebook bahwa suami saya baik-baik saja. Tetapi, saya belum puas karena saya belum bertemu dengan suami saya. Akhirnya saya menghubungi Pak Hendro dan merasa janggal sehingga saya mengatakan, kenapa orang lain bisa bertemu dengan Robison, sedangkan saya tidak bisa menjenguk suami saya? Sementara itu, Pak Hendro juga mengatakan kepada saya bahwa ia tidak mengetahui orang yang membuat unggahan itu. Saya bertanya, sebenarnya bagaimana peraturan di lapas ini? Saya takut akan kondisi suami saya,” ungkap Widya Waty.
Di sisi lain, Jull Takaliuang yang juga mewakili Save Sangihe Island menambahkan, Koalisi Save Sangihe Island (SSI) mengecam keras dugaan tindak penyiksaan terhadap Robison Saul yang dilakukan oleh petugas di Lapas Tahuna.
“Selain penyiksaan, kami juga merasakan dan melihat adanya penerapan hukum yang janggal dan berlebihan kepada Robison Saul. Ia dikenakan pasal Undang-Undang Darurat, padahal Robison tidak melakukan pembunuhan massal, bahkan Ia tidak melakukan kejahatan kemanusiaan. Robison hanya melindungi Pulau Sangihe dari tambang emas,” kata Jull Takaliuang dari Save Sangihe Island.
Kasus yang dialami oleh Robison kembali menunjukkan bahwa negara justru lebih melindungi korporasi perusak lingkungan dan memilih untuk mengorbankan keselamatan warga penolak tambang. Selain itu, penganiayaan yang dialami oleh Robison merupakan bentuk pelanggaran atas undang-undang sehinga seharusnya polisi dan Kementerian Hukum dan HAM harus menindak tegas petugas lapas yang bertindak sewenang-wenang terhadap Robison.
“Tidak ada toleransi sedikitpun atas tindakan penyiksaan yang dialami oleh Robison Saul ketika ditahan di Lapas Kelas IIB, karena mereka yang mentoleransi tindakan penyiksaan adalah musuh umat manusia. Konstitusi kita sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28G UUD 1945 telah menjamin setiap warga negara untuk terbebas dari segala bentuk penyiksaan. Negara melalui Polri dan Dirjen PAS harus segera mengusut peristiwa yang dialami Robison Saul,” ujar Andrie Yunus dari KontraS.
Meila Nurul dari Yayasan LBH Indonesia bahkan meminta Ditjen Pemasyarakatan Lapas kelas II B Tahuna dan Kemenkumham harus menindak tegas petugas Lapas yang melakukan penyiksaan pada Robison.
“Melihat dari pola penyiksaan yang ada, kami menilai bahwa hal ini tidak hanya terjadi satu kali. Sehingga, perlu adanya pembenahan sistem di Lapas dan penegakan perlindungan tahanan agar mereka mendapatkan haknya seperti yang tercantum dalam pasal 7 huruf i UU No 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan,” kata Meila.
Diketahui, Robison Saul ditangkap oleh 2 orang TNI bernama Fresly Ladi dan Junior Simon serta 1 anggota Polisi bernama Laurensius Manopo ketika melakukan aksi bersama warga yang melakukan penghadangan masuknya alat berat milik PT TMS. Robison melakukan aksi ketika hendak pergi melaut, ia membawa serta peralatan pancing seperti besi putih. Oleh aparat, Robison dikenakan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Darurat. Padahal aturan ini seharusnya hanya digunakan dalam keadaan mendesak dan untuk kepentingan pemerintah yang dianggap perlu.
REDAKSI/PERS RILIS