Opini  

EL CLASSICO BERAKHIR, BABAK BARU BISA TERULANG di 2024

Jackson Rorimpandey

CYBERSULUT.NET – Apa yang ada dibenak kita para penggila sepak bola jika mendengar tentang El Classico? Apalagi jika anda seorang Madridistas dan Barcelonistas. Dua klub raksasa benua biru ini mempunyai fans yang sangat fantastis diseluruh dunia termasuk Indonesia. Sederet prestasi yang mentereng ditorehkan dua klub ini. Meski pada 2017 Barcelona sempat mendeklarasikan Negara baru yakni Catalonia namun belum mendapat restu dari pemerintah Spanyol. Yah semoga tidak berdampak buruk bagi olahraga yang digandrungi semua kalangan.

Catatan diatas hanyalah awal sebuah story sinonim dengan pertarungan dua tokoh penting di Indonesia. Yah Ir. Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Tidak ada salahnya kita mengaitkan pertarungan antara Jokowi dan Prabowo dengan dengan Olahraga tersohor seantero jagad ini. Walaupun keduanya tidak mempunyai catatan stastik yang bisa digambarkan secara apple to apple seperti sepakbola. Namun menilik dari pertemuan dua tokoh yang menggegerkan Nusantara hampir satu dekade (dua periode) dengan drama politik yang klimaksnya sempat melumpuhkan ibukota, hingga demonstrasi terjadi hampir tiap sudut kota Batavia.

Mungkin itulah memori kelam Negara Indonesia yang dikenal dengan semboyan Bhineka tunggal Ika, Negara yang diakui dunia karena sanggup menyatukan setiap golongan, suku, ras dan agama. Negeri Ratu Elisabeth pun tersentak ketika agresi terjadi disetiap wilayah kekuasaanya di Hindia belanda, lewat sang proklamator merah putih akhirnya berkibar dan beribu-ribu pulau pun menjadi satu Nusantara.

Head to head edisi 2019 ini pun menjadi yang terakhir karena sesuai dengan konstitusi pakde atau Jokowi sebutan akrab beliau telah dua kali menduduki top eksekutif Indonesia. Sehingga kemungkinan untuk ketiga kalinya jelas absurd. Harus melalui proses panjang dengan pertimbangan yang lebih konkrit. Bagaimana dengan Prabowo?

Pertandingan kedua kubu berakhir dengan dilantiknya pengusaha meubel pak Jokowi-Amin sebagai presiden dan wakil presiden. Namun efek rematch terus berlanjut sampai Prabowo masuk kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Menteri Pertahan (Menhan) jadi jabatan yang sangat sepadan dengan latar belakang sosok berdarah Minahasa ini. Ini bukanlah sebuah easy decision bagi sang jenderal. Namun demi Indonesia yang sempat terpecah akibat election match beliau menyanggupi tugas Negara yang sangat fundamental sebagai Menteri Pertahanan. Prabowo jadi tokoh yang sangat dibutuhkan untuk posisi tersebut.

Joko Widodo-Prabowo Subianto (Shutterstock/zombiu26)

Entah ide apa yang membuat kedua tokoh ini bisa bersanding dan bisa melupakan pertandingan akbar pada 17 april 2019. Tekel keras dan saling sikut selama perhelatan kampanye pun jadi tontonan yang memilukan. Namun kerendahan hati dan pemikiran matang akan kebutuhan Negara jadi prioritas Jokowi sehingga keputusan bijak pun diambil. “Rangkul Sang Jenderal” sama-sama kita bangun Negeri ini. Mungkin itu alasan sederhananya.

Demi menghadapi era dimana kekuatan militer jadi momok bagi Negara berkembang, jika tidak kompetitif baik di level Asia maupun global maka akan jadi sasaran mudah ketika terjadi gejolak. Letak Indonesia yang berdekatan dengan Negara-negara yang sedang terjadi Konfrontasi tentu diperlukan strategi militer yang mumpuni .Dalam beberapa Artikel Internasional Prabowo adalah tokoh yang ditakuti Negara-negara maju bahkan AS sekalipun.

Penting untuk digaris-bawahi jabatan strategis ini jelas bukan pertimbangan politik semata yang dilakukan oleh Presiden. Namun langkah ini jelas demi memperkuat posisi Indonesia di mata dunia. Jokowi dalam beberapa kesempatan mendapat atensi internasional terkait dengan kebijakan-kebijakan yang diluar ekspektasi para pemimpin dunia. Sehingga diperlukan mitra yang memiliki kapabilitas untuk mewujudkan setiap visi dan misi bangsa.

Lantas dengan bersatunya dua tokoh ini apakah El-Classico benar-benar tuntas? Mungkin waktu yang bisa menjawab. Prabowo pada pilpres kemarin bertindak sebagai manajer sekaligus pemain karena beliau adalah pemimpin partai sementara Jokowi murni sebagai pemain bukan pemimpin partai. Politik bergerak sangat dinamis, bukan tidak mungkin suatu saat The President bisa menjadi manajer. Dibekali dengan elektabilitas dan raport kinerja yang sudah teruji dua kali terpilih menjadi presiden, tentu modal yang cukup untuk memulai musim baru pada berakhirnya masa jabatan. Dan El-Classico pun bisa terulang lagi di 2024 atau masa yang akan datang.

 

 

Penulis : Jackson Rorimpandey

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Continue copy, click home