Diduga Terjadi Pelanggaran HAM Penggusuran Lahan Kalasey Dua, LBH Manado Tuntut Tanggung Jawab Kapolda dan Gubernur Sulut

Diduga terjadi penggusuran paksa lahan perkebunan di Kalasey Dua/ Foto : Istimewa

CYBERSULUT.NET – LBH Manado menemukan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi pada penggusuran paksa lahan perkebunan yang dilakukan oleh aparat gabungan Polresta Manado dan Satpol PP Sulawesi Utara, Senin, (7/11/2022) di Kalasey Dua, Kabupaten Minahasa.

Pelanggaran HAM itu dilakukan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan aparat Polri.

Dalam pers rilis yang diterima CYBERSULUT, Rabu (09/11/2022) penggusuran paksa itu dilakukan tanpa adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap terhadap lahan perkebunan seluas 20 ha. Padahal lahan tersebut sedang dikuasai oleh petani Kalasey Dua sejak awal kemerdekaan.

Terkait SK Hibah Gubernur Sulawesi Utara kepada Menparekraf yang menjadi landasan penggusuran itu pun sedang disengketakan dan saat ini berada pada tahap kasasi di Mahkamah Agung. Bahkan penggusuran itu dilakukan dengan pengawalan kurang lebih 100 anggota Polresta Manado yang terdiri dari satuan Sabhara, Polwan, Brimob dan Resmob, serta kurang lebih 40 anggota Satpol PP Sulut.

Sejak pukul 10.00 pagi sampai 15.00 WITA, dua unit excavator meratakan tanaman-tanaman kelapa, pisang, dan tanaman hortikultura lainnya milik petani. Akibatnya, sejumlah petani kehilangan sumber mata pencaharian dan sumber makanan yang telah menghidupi keluarga petani.

Selama penggusuran paksa terjadi, anggota Polresta Manado dan anggota Satpol PP Sulut diduga melakukan kekerasan fisik terhadap masyarakat. Sebanyak 8 orang petani mengalami pemukulan dengan tangan kosong, pentungan, dan tameng, mengalami penarikan paksa, dipiting, dicakar, ditendang, diinjak, mendapatkan cacian dengan kata-kata binatang, serta mengalami tembakan gas air mata yang mengenai badan korban. Akibatnya, para korban mengalami luka memar, luka robek, kaki pincang, dan trauma psikis. Dimana 2 orang korban merupakan perempuan dan 2 orang lainnya adalah lansia.

Aparat Polresta Manado dan Satpol PP bertindak lebih jauh dengan melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap 46 orang warga yang mana 6 orang di antaranya adalah petani, 14 orang perempuan, dan 2 orang jurnalis. Penangkapan itu dilakukan tanpa alasan hukum yang jelas. Aparat polisi menangkap warga secara acak lalu ditarik secara paksa. Mereka dibawa ke Polresta Manado dan diinterogasi oleh penyidik di Satreskrim Polresta Manado.

Selain itu, aparat Polresta Manado juga menghalangi 2 orang pengacara publik pada saat melakukan pendampingan terhadap petani. Pada saat hendak menemui pimpinan anggota kepolisian yang berada di lokasi, Kabag Ops Polresta Manado memerintahkan kedua pengacara publik itu untuk ditangkap. Mereka lalu ditarik paksa oleh sejumlah 4 anggota Satpol PP kemudian dinaikan ke mobil dinas Polresta Manado dan dibawa ke Polresta Manado.

Sampai saat ini, sebanyak 40 anggota Polresta Manado dan Satpol PP melakukan penjagaan dengan menduduki pos-pos yang ada di lokasi penggusuran. Akibatnya, beberapa petani menjadi takut dan kuatir dan belum berani melakukan aktivitas di sekitar lahan perkebunan. Mereka mengalami trauma akibat peristiwa penggusuran yang dilakukan aparat kepolisian dan satpol PP.

Dari peristiwa penggusuran tersebut, LBH Manado mencatat bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia antara lain, hak hidup, hak atas standar hidup yang layak, hak atas pangan, hak atas pekerjaan, hak bebas dari penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi, hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak atas rasa aman dan bebas dari ancaman dan intimidasi.

Pelanggaran itu dilakukan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, Menteri Parekraf RI, Kapolresta Manado, Kabag Ops Polresta Manado, Kasat Reskrim Polresta Manado, Komandan Brimob Polresta Manado, Kasatpol PP Provinsi Sulawesi Utara, serta anggota Polresta Manado dan anggota Satpol PP Provinsi Sulawesi Utara.

Menyikapi pelanggaran tersebut, LBH Manado yang juga tergabung YLBHI dan SOLIPETRA mengajukan beberapa tuntutan diantaranya, menarik mundur aparat kepolisian dan Satpol PP dari Lahan Garapan Petani dan hentikan proses penggusuran paksa oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara serta batalkan SK Hibah Gubernur Sulut No. 368/2021 kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.

Selain itu LBH Manado juga mendesak agar segera proses hukum terhadap aparat kepolisian dan Satpol PP pelaku kekerasan dan meminta Kapolda Sulawesi Utara, Kapolresta Manado, Komandan Brimob, Kabag Ops Polresta Manado dan Kasat Pol PP bertanggung jawab atas jatuhnya korban dalam peristiwa di Desa Kalasey Dua, Minahasa.

 

 

REDAKSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *