Art of Followership

Oleh : Aris Soleman S.Psi M.Psi

Politik tak hanya bicara mengenai kemenangan dan kekuasaan. Naif kiranya jika kita memaknai politik hanya berkutat pada hasrat menguasai. Politik juga tidak selalu identik dengan partai, meski itu merupakan media politik dalam Negara demokrasi. Apalagi jika di artikan bahwa politik hanya milik mereka yang mencalonkan diri untuk menduduki kursi legislatif maupun eksekutif.

Saya cenderung menyepakati pendapat Robert Dahl yang menyatakan bahwa politik adalah seni (art politica). Sama halnya dengan mencintai yang bagi Erich Fromm adalah sebuah seni yang agung. Jika politik adalah seni maka politik haruslah berwarna, menyenangkan, membahagiakan sekaligus membuat candu. Lalu mengapa politik saat ini seolah tak menyenangkan lagi? Politik seakan tak artistik lagi?

Dalam politik, fokus kita selalu terpaku pada figur pemimpin, politisi, partai, warna, program dan sebagainya. Kita sering lupa atau mungkin dianggap kurang penting pada aspek yang paling krusial dan paling menentukan, yaitu pengikut (followers). Mengapa politik tidak menyenangkan dan kurang artistik? Jawabannya mungkin karena para pendukung dan tim sukses tak puitis lagi, sudah tak melodis lagi, mungkin tak romantis lagi atau bahkan tak imajinatif lagi. Pendukung dan tim sukses saat ini cenderung menjadi pengikut ‘otak’ yang matematis. Meski tak estetis asalkan logis dan menang tipis, semua tergantung angka-angka survey. Jika partai A di dapuk oleh lembaga survey menjadi terpopuler dengan presentase yang signifikan, maka dianggap pasti menang. Jika calon pemimpin memiliki jumlah kekayaan selangit, maka pengikutpun tak perlu repot merakit. Pengikut “Zaman Now” tak butuh lagi narasi gagasan-gagasan pemantik akal budi, sudah tak penting lagi mendengarkan orasi, semua sudah digitalisasi dengan aplikasi.

 Hamdi Muluk menggambarkan bahwa persoalan politik saat ini bukan soal lemahnya pola kepemimpinan kita (leadership) seperti yang selama ini kita khawatirkan, namun yang lebih mendasar dan sering terlupakan adalah lemahnya seni menjadi pengikut (art of followership).  Kita selama ini selalu berkutat pada paham politik elitis, selalu sibuk mempertanyakan siapa yang pantas jadi elit (pemimpin). Kita selalu khawatir kekurangan orang yang punya jiwa kepemimpinan (leadership), namun kita tak pernah gusar dengan massa pengikut yang tidak punya jiwa kepengikutan (Followership).

Pemimpin dan pengikut memiliki hubungan yang dialektis dan abadi. Tanpa pengikut, seseorang tidak bisa jadi pemimpin, sebaliknya, seseorang tidak bisa mengikrarkan dirinya sebagai pengikut tanpa pemimpin.Kita memiliki banyak potensi pemimpin yang hebat-hebat namun lemah pada massa pengikut. Bagaimana bisa kita menciptakan seseorang yang memiliki jiwa pemimpin dengan pengikut yang tidak kritis, tidak berkualitas, tidak kompeten, suka loncat sana loncat sini, bahkan tidak bisa mengatur diri sendiri. Terkadang bisa terjadi kekalahan seorang calon pemimpin diakibatkan oleh tingkah laku pengikutnya. Mungkin benar bahwa setiap pemimpin yang baik lahir dari pengikut (pemilih) yang baik, begitupun jugapemimpin yang menang dan terpliih dikarenakan pengikut yang pintar membawa diri. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *