CYBERSULUT.NET – Death On The Nile dibuka dengan adegan perang. Di atas kertas pembukaan ini memang aneh mengingat ini adalah sebuah adaptasi misteri pembunuhan Agatha Christie. Tapi Kenneth Branagh yang menjadi sutradara dan juga kembali lagi memerankan Poirot, punya alasan kenapa dia membuka film ini dengan adegan perang. Ternyata thesis-nya adalah apa yang terjadi setelah Poirot terkena ledakan dan bertemu dengan cintanya. Sentuhan romansa dalam film ini ternyata tidak menjadi bumbu tapi nantinya akan menjadi penting ketika darah mulai bercucuran.
Sekali lagi dalam Death On The Nile penonton akan diajak untuk bertemu dengan detektif nyentrik bernama Poirot, dengan kumisnya yang membahana, untuk menyelesaikan misteri pembunuhan. Meskipun tentu saja keberadaan dia di lokasi tersebut adalah untuk urusan lain. Settingnya adalah perayaan pernikahan si kaya raya Linnet Doyle (Gal Gadot) yang baru saja menikah dengan Simon Doyle (Armie Hammer). Perayaan pesta yang luar biasa extravaganza ternyata bukan jadi masalah utama (meskipun nantinya mungkin jadi motif). Yang jadi masalah adalah momok-momok dari masa lalu yang mengikuti pernikahan ini.
Selain Bouc (Tom Bateman) dan ibunya Euphemia (Annette Bening) yang menghiasi perayaan ini sebagai tamu, ada Linus Windlesham (Russell Brand), seorang turunan bangsawan yang merupakan dokter yang kebetulan batal menikahi Linnet. Sementara itu Jacqueline de Bellefort (Emma Mackey dari serial Sex Education) muncul untuk membuat Linnet ketar-ketir karena sesungguhnya Simon adalah tunangannya sampai minggu lalu.
Selain itu ada Andrew Katchadourian (Ali Fazal) yang merupakan sepupu Linnet dan juga pengacaranya; Marie Van Schuyler (Jennifer Saunders) yang merupakan godmother-nya Linnet dan ia datang mersama Mrs. Bowers (Dawn French); Salome Otterbourne (Sophie Okonedo) seorang penyanyi blues dan keponakannya Rosalie (Letitia Wright) dan yang terakhir adalah Louise Bourget (Rose Leslie) yang merupakan asisten pribadi Linnet.
Kekayaan Linnet yang melimpah dari awal langsung menjadi topik pembicaraan. Bulan madu yang luar biasa heboh ini tadinya hanya diramaikan dengan drama cemburu dengan mantan. Tapi tentu saja tidak butuh waktu lama untuk senjata api terlibat dan satu demi satu nyawa melayang. Dan Poirot pun akhirnya harus menggunakan otaknya untuk mencari tahu siapa dalang dibalik teror ini.
Dirilis pada 2017, Murder On Orient Express adalah sebuah anomali karena ia menjadi sebuah film box office meskipun ia tidak menampilkan satu superhero pun. Penonton berbondong-bondong untuk menyaksikan misteri pembunuhan ini mungkin karena pemainnya yang mentereng. Kapan lagi menyaksikan keseruan mencari tahu siapa pembunuh misterius di atas kereta dengan pemain-pemain seperti Penelope Cruz, Willem Dafoe, Judi Dench, Michelle Pfeiffer dan Johnny Depp?
Death On The Nile mengikuti resep yang sama meskipun ia tidak bisa menandingi star power di film sebelumnya. Ditunda selama dua tahun karena pandemi, film ini kehilangan star power dua bintang utamanya (Armie Hammer dan Letitia Wright, silahkan google kisah mereka). Penundaan itu juga tidak membantu visual Death On The Nile untuk kelihatan nyata. Banyak sekali adegan dalam film ini yang kelihatan jelas-jelas disyuting di studiio dengan green screen di belakangnya. Meskipun hal tersebut tidak terlalu mengganggu, tapi jelas membuat kenimatan menonton jadi berkurang.
Seperti halnya Murder On The Orient Express, Branagh sebagai sutradara tetap ngotot untuk melukis film ini dengan tone yang serius. Tidak ada satu pun urat humor di film ini. Bahkan ketika film ini mencoba mengendurkan tensi dengan mencoba untuk sedikit bercanda, Death On The Nile tetap kaku. Keputusan ini tentu saja berpengaruh dengan akting para aktor-aktornya. Selain Branagh yang diberi kesempatan untuk narsis, mungkin hanya Sophie Okonedo yang berhasil memberikan transfusi jiwa ke karakternya. Gal Gadot cukup menyenangkan untuk dilihat. Dan Russell Brand secara mengejutkan ternyata bisa tampil serius dan berhasil. Dawn French dan Jennifer Saunders cukup membuat segar. Tapi selain itu hampir semuanya tampil dua dimensional.
Michael Green sebagai penulis skrip memberikan interpretasi tambahan ke dalam skripnya. Disini kita melihat people of color dan tentu saja opening film yang tadi saya sebutkan ada hubungannya dengan motif pembunuhan. Tapi selain itu, Death On The Nile seperti apa yang Anda harapkan kalau Anda membaca bukunya Agatha Christie.
Death On The Nile bukan film yang buruk meskipun filmnya butuh waktu yang lama untuk tancap gas. Cukup disayangkan sebuah film yang menawarkan keseruan dan misteri ternyata baru benar-benar “bangun” setelah satu jam penuh dengan basa-basi membosankan. Ketika Poirot mulai beraksi, Death On The Nile memang jauh lebih asyik untuk disimak. Kalau Anda suka dengan film pertamanya, Anda akan menikmati Death On The Nile.
Sumber : detik.com