CYBERSULUT.NET – Terpilih dan dipercayakan menjadi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) baik itu secara Nasional maupun Provinsi dan Kabupaten/Kota, akan menjadi kebanggaan dan kenangan yang tidak akan pernah terlupakan.
Hal tersebut diungkapkan Andriette Rosa Mantik, perempuan asal Manado yang terpanggil dan terpilih di saat masih berusia 14 Tahun sebagai Paskibraka pertama pada tahun 1946.
Menurut Andriette Rosa Mantik yang akrab disapa Oma Roos ini, setiap kali menyaksikan upacara pengibaran bendera setiap HUT Kemerdekaan RI lewat media elektronik maupun cetak, dirinya selalu merasa bangga pernah menjadi bagian dan yang pertama dari Paskibraka.
“Jadi setiap kali melihat upacara pengibaran bendera 17 Agustus, saya selalu berkata kepada anak-anak kalau mama bangga pernah menjadi pengibar bendera,” ungkap adik dari Gubernur Sulawesi Utara ke-7, Gustaf Hendrik (G.H) Mantik ini saat ditemui CYBERSULUT di kediamannya, Rabu (19/8/2020).
Diceritakan Oma Roos yang didampingi sang anak Linkan Dendeng, saat itu di Jawa Barat dimana terbagi Bandung Utara dan Selatan sedang bergejolak, memaksa dirinya bersama sang ibu yang merupakan perawat di RS IMMANUEL harus terus bergerak mundur membawa pasien hingga akhirnya sampai di Yogyakarta.
“Saat itu karena ibu saya seorang pekerja Rumah Sakit, maka saya memutuskan untuk masuk Palang Merah membantu para pasien. Sampai sekarang menjadi kebanggaan saya bisa menolong pasien pada saat itu,” kata Oma Andriette.
Lanjut diceritakan Oma Roos, keinginannya sebagai palang merah untuk terus menolong orang, harus terhenti karena diminta untuk melanjutkan pendidikan.
“Saat itu kakak (G.H Mantik) saya yang seorang tentara, meminta saya untuk terus melanjutkan sekolah. Kakak saya katakan saat itu, usia saya masih muda dan tak mungkin bekerja selamanya di Palang Merah,” ungkap Oma Roos.
Sejak diminta kembali bersekolah, Oma Roos akhirnya mengikuti permintaan kakaknya kembali mengenyam ilmu di satu-satunya sekolah Katolik yang ada di Yogyakarta.
“Kemampuan saya yang bisa berbahasa Belanda di sekolah tersebut, sehingga banyak yang meminta untuk mengirim surat ke Istana Presiden maupun Wakil Presiden,” katanya.
Lanjut Oma Roos, saat akan pengibaran bendera pada 17 Agustus 1946 dirinya terpilih sebagai salah satu Paskibraka dari daerah Sulawesi.
“Waktu itu kami terpilih setiap daerah satu pasang, lima laki-laki dan lima perempuan dari Sulawesi, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Khusus untuk pemasang bendera dari daerah Jawa,” ungkapnya.

Diungkapkan Oma Roos, terpanggil sebagai Paskibraka saat itu dirinya merasa harus melaksanakan dengan segenap hati tanpa ada imbalan apapun demi Indonesia Raya.
“Saat dipanggil harus siap sesuai perintah, tanpa latihan terlebih dahulu. Tidak ada seragam, jadi waktu itu semua siapkan pakaian sendiri berwarna putih dengan sepatu hitam,” ungkapnya.
Oma Roos pun berharap, Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang telah menginjak ke-75 bisa terus bersatu dalam membangun Indonesia yang berkembang dan maju.
“Saya telah memberi contoh bagi generasi muda untuk memberi diri bagi Indonesia. Oleh karena itu mulai dari anak muda mau berjuang untuk kemajuan Indonesia maupun bagi diri mereka sendiri. Hidup kita ini sudah dibimbing Tuhan agar kita menjalankan tugas yang telah disiapkan untuk membangun Indonesia Raya,” tukas Istri dari (Alm) Ir. Arthur Remy Dendeng ini.
Oma Roos pun berpesan, agar generasi saat ini bekerja dan bisa melihat yang baik untuk dijalankan.
“Jangan terbawa oleh obrolan orang yang tidak baik, didikan untuk anak-anak supaya mereka mengikuti Tuhan dan jalankan tugas yang sudah disiapkan,” tutupnya.

Sejarah Paskibraka
Paskibraka dibentuk pada tahun 1946 atas perintah Presiden Soekarno kepada Mayor M. Husain Mutahar.
Awalnya, Soekarno ketika itu memanggil Mutahar yang tidak lain adalah ajudannya sendiri, untuk mempersiapkan upacara kenegaraan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1946 di Halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Saat itu, Ibu Kota RI dipindah ke Yogyakarta untuk sementara waktu karena situasi di Jakarta yang genting sejak kedatangan Belanda tak lama setelah kemerdekaan.
Pada 4 Januari 1946, situasi Jakarta sangat genting, sehingga Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta api.
Bendera Pusaka turut dibawa dan dimasukkan dalam koper pribadi Presiden Soekarno.
Mutahar sempat berpikir bagaimana caranya upacara tersebut dapat menumbuhkan rasa persatuan bangsa.
Akhirnya, Mutahar memutuskan, saat pengibaran bendera pusaka sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia.
Mutahar akhirnya menunjuk lima orang pemuda yang terdiri atas tiga orang putri dan dua orang putra sebagai perwakilan daerah yang berada di Yogyakarta untuk melaksanakan pengibaran bendera pusaka.
Bukan tanpa alasan mengapa Mutahar hanya memilih lima pemuda dan pemudi. Alasannya, angka tersebut melambangkan Pancasila atau lima sila sebagai dasar negara Indonesia.
Pada 1950, saat Jakarta kembali menjadi Ibu Kota, Mutahar tidak lagi menangani Paskibraka.
Christy Lompoliuw